May 03, 2017

Kartini Movie Review

"Badan boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya."
-R.A. Kartini
Perpaduan sempurna dari fakta sejarah, pameran kebudayaan dan seni, serta rangkaian drama kehidupan seorang perempuan yang berjuang mengejar mimpinya di tengah keterbatasan zaman dan situasi, film Kartini karya Hanung Bramantyo ini patut menyandang gelar film terbaik sepanjang sejarah perfilman Indonesia.
Setidaknya menurut saya.

Bagi yang belum menonton film ini, saran saya:
1. Jangan dulu membaca tulisan saya di bawah ini karena ada beberapa BANYAK 'bocoran' isi film
2. AYO NONTON FILMNYA sebelum turun dari bioskop-bioskop kesayangan anda



Cerita & Tokoh

Cerita dalam film Kartini mengalir sempurna, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Semua adegan dapat dinikmati dengan baik. Berkat penulisan naskah yang bagus, perpindahan antar adegan yang mulus serta tidak bertele-tele, sinematografi yang menawan, serta akting para pemain yang totalitas, penonton dapat dibawa secara visual dan emosional ke masa dimana Kartini (diperankan oleh Dian Sastrowardoyo) tengah merakit sejarah.
Demi memerankan Kartini, akrtis cantik Dian Sastro pun berusaha tampil total di film ini. Ia membaca banyak buku tentang Kartini, belajar logat Jawa dan bahasa Belanda dalam waktu singkat, belajar gerak-gerik dan adat istiadat wanita Jawa kuno, hingga berkunjung ke rumah Kartini dan berziarah ke makam Kartini di Rembang.

Salah satu bukti yang memperlihatkan kelihaian tim di balik film ini adalah adanya adegan yang dibawakan tanpa dialog (contoh: ketika Slamet memberitahu Ngasirah bahwa ayahnya jatuh sakit) namun kental dengan pengambilan gambar, gestur badan dan mimik wajah yang deskriptif sehingga alur cerita tetap mengalir dan penonton tetap dapat menghayati apa yang tengah terjadi.

Penonton juga kerap diajak 'bermain' ke alam pikiran Kartini yang seolah 'terbang' keluar rumah tempat ia dipingit ketika ia sedang membaca buku dan membaca surat dari kakak dan temannya di Belanda. Cara penyampaian yang sungguh indah dan menarik, serta selaras dengan pepatah 'Buku adalah jendela dunia'.

Kalau baru saja menonton film Beauty and the Beast, mungkin penonton akan terbayang kemiripan Kartini dengan Belle yang sama-sama kutu buku dan berani menentang arus. Bedanya, dalam film ini Kartini ditemani oleh kedua adik perempuannya, Kardinah (Ayushita) dan Rukmini (Acha Septriasa).

Kehadiran dua tokoh ini berhasil mengubah citra Kartini di mata saya dari sosok yang 'individualis dan berjuang seorang diri' menjadi 'seorang kakak yang berjuang bersama adik-adiknya dalam susah dan senang'. Menarik sekali melihat Kartini dan adik-adiknya bermain di pantai, memanjat pagar, membatik, memasak, mandi kembang, bercanda dan menangis bersama. Hal ini seolah membuat foto-foto hitam putih yang biasa saya lihat di buku pelajaran mendadak jadi 'hidup' di depan mata, serta membantu 'meringankan' unsur cerita yang 'berat' dalam film ini.

"Perubahan pasti akan terjadi, tinggal siapa yang akan memulai."
-Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (ayah Kartini)
Perjuangan Kartini tak lepas dari peran ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang diperankan oleh aktor senior Indonesia Deddy Sutomo. Tidak seperti kaum pria pada umumnya di masa itu, ayah Kartini ini tergolong pria yang berpikiran terbuka. Ia memperbolehkan Kartini dan kedua adiknya 'keluar sementara dari pingitan' untuk bergaul dan belajar menulis dari Marie Ovink-Soer, salah satu orang Belanda yang berpengaruh besar dalam hidup Kartini.
Selain berpikiran terbuka, ayah Kartini juga digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang dalam film ini. Hal ini dapat dilihat dari tatapan, perbuatan dan cara bicaranya pada Kartini. Ia ikut bangga dan senang ketika artikel Kartini dipublikasikan di majalah Belanda, dan bahkan membelikan Kartini meja tulis untuk mendukung bakat dan cita-cita putrinya ini.
Ketika Kartini ingin menulis surat pada pemerintah Belanda untuk mendapat beasiswa pendidikan, sang ayah juga mengizinkan meskipun awalnya beliau ragu karena ditentang banyak pihak. 

"Setiap ibu mesti ingin melindungi dan memberi yg terbaik bagi anak-anaknya."
-Ngasirah (ibu Kartini)
Film yang sarat dengan unsur kekeluargaan ini juga menampilkan Christine Hakim sebagai Ngasirah, ibu kandung Kartini. Akting beliau (seperti juga akting-akting pemain lainnya dalam film ini - dari akting para pelayan sampai dengan Kartini kecil, kebanyakan para pemain di film ini menunjukkan kemampuan akting yang mumpuni) patut diacungi jempol. Ngasirah rela suaminya menikah lagi dengan R.A. Moeryam (Djenar Maesa Ayu), perempuan yang derajatnya lebih tinggi darinya, dengan harapan anak-anaknya bisa sekolah dan "derajatnya bisa lebih tinggi dari ibu". Untuk itu, ia bahkan rela tidak dipanggil 'ibu' oleh anak-anaknya sendiri dan tidur di kamar pembantu.

Ketika Kartini tidak mau menerima lamaran dari seorang bupati yang sudah memiliki tiga istri dan berkeras mau menunggu jawaban dari pemerintah Belanda mengenai proposal beasiswa yang diajukannya, Ngasirah mengajarkan Kartini apa yang tidak mungkin putrinya itu pelajari dari aksara Londo (Belanda), yaitu 'bakti'. Digambarkan dengan cerdas dan indah memakai analogi aksara Jawa 'trinil' dalam film ini, Ngasirah mengatakan, "Manusia, ketika dipangku itu hatinya tentram karena keseimbangannya terjaga. Sepintar-pintarnya Londo itu menguasi dunia, mereka tidak akan pernah mengenal 'pangku'". Bakti atau pangku disini memiliki arti yang kurang lebih 'mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kebaikan orang lain'.

"Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya."
-R.A. Kartini
Di penghujung film, Kartini diperlihatkan sedang memegang pena dan kertas, menghadap kincir angin Belanda. Terus belajar di negeri Belanda demi mengejar cita-citanya, atau menikah dan berbakti pada orang tua? Apapun pilihan Kartini, warisan pahlawan nasional ini akan terus hidup dan dikenang sepanjang masa.


Sarat Budaya

Kalau film-film Ghibli seringkali memamerkan budaya Jepang yang kental, film Kartini juga tak kalah dalam hal tersebut. Berbagai detil budaya Jawa kuno dari bahasa, pakaian, arsitektur, furnitur dan peralatan rumah tangga, kendaraan, tarian, alat musik, adat istiadat, permainan... semuanya nampak sangat diperhatikan, dihidupkan kembali, dan ditampilkan secara apik sepanjang film ini berlangsung.
Sungguh apresiasi budaya yang luar biasa.
Dedikasi tim untuk menghadirkan semua aspek budaya tersebut dalam film ini dapat dilihat dari video behind the scene ini
Selain keindahan budaya Jawa yang ditonjolkan di film ini, menarik mempelajari perbedaan budaya yang begitu mencolok antara zaman Kartini dan zaman sekarang. Berbagai unsur feminisme yang progresif ditampilkan bersitegang langsung dengan budaya paternalistik yang telah mengakar kuat di sebagian besar negara Asia, termasuk di Indonesia. Sesungguhnya hal inilah yang menjadi dasar pembuatan film Kartini ini.

Hal-hal yang mungkin tidak terbayangkan di zaman sekarang namun kenyataannya benar-benar terjadi di masa Kartini seperti, 'perempuan hidup hanya untuk menikah dengan lelaki yang bukan pilihannya sendiri, dan tidak peduli sebagai istri keberapa', 'harus jadi bangsawan supaya bisa belajar', 'perempuan harus dipingit ('dikurung' di rumah) sejak menstruasi pertama', dan sebagainya.

Seperti dilansir di The Jakarta Post, Sutradara Hanung Bramantyo menyatakan bahwa ia mendedikasikan film ini untuk para pria Indonesia. Hanung berkata bahwa proses pembuatan film ini ikut membantunya belajar cara yang baik dan sepantasnya dalam memperlakukan wanita, jadi ia berharap para pria dapat memahami wanita lebih baik lagi setelah menonton film ini.


Kartini: Sosok Panutan

"Pendidikan satu-satunya cara yang dapat mengubah cara pikir mereka."
-R.A. Kartini
Menonton film ini tentunya membuat kita semua kagum akan sosok seorang Kartini, baik dari keteguhan maupun karakter pribadinya yang sangat layak dijadikan panutan banyak orang.

Pertama, Kartini menunjukkan sifat yang bersemangat, aktif dan berinisiatif.
Mengingat situasi dan kondisi saat itu yang sangat tidak kondusif bagi seorang perempuan, sikap Kartini tersebut boleh dibilang sangat modern dan berani. Seperti teori 'The Secret', ia membuktikan bahwa 'ada kemauan, ada jalan'. Semakin ia mengobarkan semangat, semakin banyak orang yang mau membantunya, dan semakin menyebar pengaruh positifnya ke orang-orang di sekitarnya.

Bertolak belakang dengan kakak lelakinya yang mencibir, "Mendingan juga porselen, keramik Cina, jas Eropa. Ukiran kampungan begitu mau kamu kirim ke Belanda, memang ada yang mau?", Kartini memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Ia turut memajukan industri ukiran kayu Jepara ke mata internasional. Ia bahkan tercatat pernah berujar, ”Saya sakit hati kalau barang-barang yang sangat indah itu menjadi milik orang-orang yang acuh tak acuh, yang tidak dapat atau sekurang-kurangnya tidak cukup menghargai barang-barang itu...” (Kartini, Pembaharu Peradaban, 2010).
Di fim ini, Kartini juga tampil sebagai seorang negosiator ulung. Ketika para pengukir enggan menerima pesanan ukiran dari Kartini karena pada masa itu terdapat mitos bahwa mengukir wayang dapat mendatangkan bencana,  Kartini berkata, "Aku sing nanggung dosa'ne, pak". Kartini bicara tulus dengan bahasa pengukir itu, tanpa argumentasi panjang atau memakai bahasa elit-elit, atau bahkan mencemooh kepercayaan pengukir tersebut. Para pengukir akhirnya mau mengerjakan pesanan Kartini, dan sesuai harapan, pesanan terus berdatangan dan hingga saat ini Jepara terkenal dengan ukiran kayunya.

Bentuk lain dari apresiasi adalah pemahaman. Dalam adegan dimana terdapat acara pengajian keluarga, Kartini nampak menghampiri ulama di akhir pengajian tersebut. Sifatnya yang penuh rasa ingin tahu dan selalu ingin belajar membuatnya ingin mengerti lebih dalam mengenai arti dari ayat-ayat Al-Quran yang dibawakan oleh sang ulama. Kartini lantas meminta Kiai Saleh - sang ulama untuk menterjemahkan ayat-ayat tersebut ke dalam bahasa Jawa dan dibukukan. "Banyak orang merasa sudah cukup puas hanya bisa membaca dalam bahasa Arab saja, tanpa tahu makna dan artinya," sang ulama menjawab. Namun Kartini tidak putus asa, ia tetap meminta sang ulama untuk merealisasikan keinginannya, hingga pada akhirnya sang ulama menghadiahkan kitab yang sudah jadi tersebut sebagai hadiah pernikahan Kartini (sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/01/m1s0xf-kiai-muhammad-saleh-darat-semarang-guru-para-ulama-dan-ra-kartini).

Terakhir, sikap hormat dan sayang orang tua juga merupakan sikap yang sangat saya kagumi dari Kartini. Dalam salah satu prasyarat pernikahannya dengan bupati Rembang, ia menyebutkan, "Saya ingin Yu Ngasirah (ibu kandung Kartini) tidak lagi tinggal di rumah belakang, tetapi tinggal di rumah depan. Dan saya ingin semua putra dan putri romo (sebutan untuk ayah Kartini) memanggil Yu Ngasirah dengan 'Mas Ajeng' (sebutan lain untuk 'ibu'), bukan 'Yu' lagi".

Warisan paling berharga dari Kartini menurut saya tak lain adalah kisah hidupnya sendiri yang sangat inspiratif, dan hal ini dirangkum dengan amat baik dan menarik dalam film Kartini karya Hanung Bramantyo ini.
Saya rasa film ini patut ditonton oleh semua orang, terutama remaja yang sedang mencari jati diri. Karena bahkan sampai sekarang pun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak orang, bukan saja perempuan, yang tidak berani menyuarakan pendapat atau bahkan mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri. Entah itu karena tekanan sosial maupun tekanan dari dalam diri sendiri. Kartini, melalui film ini seolah berbicara dan membakar semangat kita untuk terus menyuarakan pendapat dan memperjuangkan hak-hak yang seharusnya kita peroleh.

Saya tutup tulisan ini dengan beberapa kutipan inspiratif dari R.A. Kartini:
"Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri."

"Saat membicarakan orang lain, Anda boleh saja menambahkan bumbu, tapi pastikan bumbu yang baik."

"Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama?

"Tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan selain menimbulkan senyum di wajah orang lain, terutama wajah yang kita cintai."


"Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan rasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri."

Thank you so much for reading and see you guys on my next post! 

X
Jessica Yamada