September 06, 2018

Gimana Awal Ketemu Suami & Alasan Aku Pilih Dia

[For English version of this blog, click here]
Guys, sebelumnya aku minta maaf dulu ya πŸ˜žπŸ™, soalnya sejak nikah sampai sekarang, aku belum sempat-sempat ngenalin Anton - cowok yang sekarang statusnya suami aku, ke kalian semua. Waktu aku nge-post foto ini di Instagram, banyak banget dari kalian yang mengirim komentar dan DM (direct message) buat kasih ucapan selamat untuk aku (sekali lagi makasih ya, guys! *peluk*). Dan beberapa dari kalian, khususnya yang udah follow aku selama bertahun-tahun juga minta aku untuk sharing cerita latar belakang gimana cara kita ketemu, dan alasan aku mau nikah sama dia.
Tapi sejak lamaran bulan Juni 2017, waktu rasanya berlalu super cepat dan aku serasa harus joget-joget buat kebut tesis dan berjuang lulus tepat waktu, setor foto prewed, cari tempat tinggal dan shopping perabotan rumah tangga, persiapan dan desain berbagai detail untuk nikahan (sampai sekarang belum sempat juga aku blogging soal nikahan OMG), susun rencana dan packing untuk bulan madu yang cus langsung cabut habis nikahan (oke, buat susun rencana honeymoon, aku sampai sudah serahkan semuanya sama Anton, karena aku benar-benar sudah gak sanggup lagi urus ini itu T_T), mengatur beberapa sistem operasional baru untuk Dapurfit, dan tentunya ngelakuin semua itu sambil mengurus kerjaan aku kreasi konten untuk media sosial DAN ke-distract terus menerus oleh berbagai film, serial TV dan kucing-kucing aku yang super gemas bolmik.

Hm..., sampai dimana kita tadi? Yak, gimana aku ketemu suami, dan alasan aku pilih pokemon ini. Aku sudah coba menyusun ceritanya sesingkat mungkin, tapi tetap saja jadinya lumayan panjang, jadi mungkin ada baiknya kalau kalian ambil dulu segelas kopi atau teh sebelum kita mulai.
Sudah siaaappp? Okeh, kita mulai!
April 2015.
Setelah baru putus dan terbebas dari hubungan yang ga sehat, aku memutuskan pergi ke India.
 ↑ Mama ikut aku ke sana ↑
Mama peduli banget sama aku, pokoknya Mama cuma mau anaknya cepat move on dan jadilah Mama ikutan ke India padahal Mama orangnya sangat tidak tahan panas dan India waktu itu lagi SUPER PANAS (s/d 40ΒΊ C di bulan April) 😱♨️πŸ˜­πŸ’•

Di India, di tengah suasana yang tentram dan jauh dari hingar bingar kehidupan kota besar seperti di Jakarta, aku baru sadar bahwa selama ini aku gak pernah benar-benar single sejak aku umur... tiga belas? Saat itu aku berusia 27 tahun, jadi ternyata, butuh lebih dari separuh hidup aku untuk sadar bahwa aku terlalu insecure untuk merasa puas hanya dengan diri sendiri.
Buat aku, lebih baik coba-coba jadian meskipun ada resiko gagal, daripada diam di tempat dan single.

Coba aku jelaskan alasannya, ya, segamblang mungkin.

Pertama: Kebutuhan.
Mungkin karena pada dasarnya aku itu introvert yang egois, jadi aku tidak suka bergaul dengan orang banyak (dan memang jumlah teman dekat aku super sedikit dari dulu), tapi aku tetap butuh bersosialiasi; dan kalau bisa sama seseorang yang sayang banget sama aku, selalu ada untuk aku dan mau ngelakuin apapun buat aku. Dan pastinya posisi yang menuntut semua kriteria itu lebih cocok diisi oleh seorang pacar daripada seorang teman. Lagipula, meskipun aku tipe orang yang logis dan jarang banget mau nunjukin sisi rentan aku (terutama dalam sebuah hubungan, soalnya aku selalu merasa sisi rentan aku itu bisa jadi pisau bermata dua), diam-diam aku orangnya *ehm* romantis (dalam hati). Jadi kalau aku bisa ketemu 'the one' selagi masa pencarian, ya buat aku itu jackpot banget.

Berikutnya: Keseruan.
Bagi sebagian orang mungkin dating game itu melelahkan atau bahkan menakutkan, tapi buat aku itu seru banget. Dari bikin seseorang yang tadinya kita tidak kenal sama sekali sampai dia jatuh cinta sama kita, dan mempertahankan rasa itu tetap ada atau bahkan bertumbuh, itu benar-benar serasa main game buat aku. Dan berada di 'game' ini rasanya seperti aku punya pekerjaan sampingan yang seru dan menginspirasi, di samping melakukan pekerjaan sehari-hari aku yang sebenarnya.

Terakhir: Pintu Keluar.
Satu hal yang pasti, aku TIDAK PERNAH stay lama-lama di sebuah hubungan yang buruk. Ini faktor yang penting banget, karena kalau kamu orangnya gampang terikat dan tidak tegaan putusin orang lain, suatu hari kamu bisa saja bangun sama orang yang... tidak tepat buat kamu. Jadi, begitu aku ada feeling ini bukan orang yang tepat buat aku (misalnya: tidak tulus, anak mami, berpotensi selingkuh, kasar, pelit, dan banyak lagi sifat-sifat jelek lainnya yang tidak mungkin bisa diperbaiki), aku tidak pernah ragu sedikitpun untuk putus dan menjauh dari dia sepenuhnya karena aku terlalu sayang sama diri aku sendiri untuk membiarkan orang lain bully aku, dan aku tidak rela buang waktu aku lebih lama lagi sama orang yang salah. Nah rekor itu dipatahkan sama mantan aku yang terakhir itu, yang bikin aku ke India. Karena meskipun hubungan kita jelek banget dan aku sudah berkali-kali coba putusin dia, pada akhirnya dia minta putus juga sama aku. Tapi mengingat dia orang pertama yang minta putus sama aku, aku jadi down banget karena ego aku super tinggi hahaha. Ya, walau pada akhirnya kalau dipikir-pikir itu benar-benar blessing in disguise sih, karena kalau kejadiannya tidak seperti itu, mungkin aku tidak akan dapat pencerahan ini.

Oke, seperti yang kalian lihat, alasan-alasan aku di atas tentunya kurang sehat untuk menjadi dasar sebuah hubungan, karena sifatnya kekanak-kanakan dan egois, ya gak sih? Dan aku sadar bahwa dasar yang jelek tentunya tidak bisa dipakai untuk membangun hubungan yang bagus. Berangkat dari pemikiran itulah, aku memutuskan untuk mengubah pola pikir aku, dan langkah pertama yang harus aku ambil adalah mencoba hidup bebas dan single selama... yang dibutuhkan. Sebut saja ini 'relationship detox' atau apalah, tapi yang benar-benar tidak aku sangka adalah dalam masa-masa single ini, aku bukan hanya menemukan diri aku sendiri, tapi aku juga menemukan orang yang akan jadi pasangan hidup aku.

...Dan itu semua berawal dari:
Facebook. 2011.
Oke, satu per satu. Sebagai seorang introvert yang jarang banget bergaul sama teman, pergi ke acara-acara menarik atau melakukan hal-hal yang bisa menciptakan kemungkinan bertemu orang baru (baca: potensi pacar), aku benar-benar merasa Facebook itu alternatif super oke karena sistemnya benar-benar memudahkan proses stalking. Serius aku ga bohong, semuanya ada di sana, lho. Kamu mau cek zodiak seseorang, siapa saja teman yang kalian sama-sama kenal, film favorit mereka, berapa banyak saudara kandung yang mereka punya, kamu tinggal cek Facebook mereka dan tadaaa, skip semua pertanyaan dan lanjut ke tahap berikutnya -atau tidak.
Hal ini pastinya hanya akan berhasil kalau gebetan kamu itu benar-benar mengisi semua pertanyaan Facebook nya, sih. Tapi dulu (kira-kira tahun 2008-2012), Facebook adalah media sosial paling populer seperti Instagram hari ini, jadi kebanyakan orang memakai Facebook untuk exist.

Nah, coba kita balik ke masa-masa cowok ini kirim aku message di Facebook.

Dia ga banyak bicara, cuma nanya, "Gimana liburannya?" Soalnya waktu itu aku baru dari Bali.
Tapi yang langsung menarik perhatian aku adalah namanya, Anton Widjaja, karena Papa aku namanya Anton, dan Mama aku nama belakangnya Wijaya (walaupun 'Widjaja' itu ejaan lama, tapi sama-sama kalau dibaca jadi 'Wijaya'). Reaksi aku spontan langsung, "Apa-apaan nih." Sayangnya, dia tuh tipe orang yang sama sekali ga ngurus media sosialnya, jadi bakat stalking aku sia-sia, deh.
Kepo dan agak kesal karena aku pikir, 'Ini pasti ada yang mau ngerjain gue, nih,' aku langsung reply dia. Ternyata itu BENERAN nama asli dia, dan nope, dia ga tau nama orang tua aku. Kita bahkan ga banyak mutual friends, cuma satu orang dan kita ga deket pula sama dia. Jadi, ini semua kebetulan banget, kah? Sepertinya begitu. Tapi chat Facebook itu ga berlanjut kemana-mana, kok. Kita emang sempat tukaran nomor, tapi that's it, kita ga ketemuan, ga lanjut ngobrol, jadi benar-benar kayak berhenti di situ saja. Untuk sementara.

Sampai dengan...
Percepat ke April 2015, ke awal cerita ini, dimana aku baru saja balik dari India.

Gak ada angin, gak ada hujan, muncul sebuah pesan di WhatsApp aku, "Halo, inget aku?" Itu chat dari dia, cowok yang namanya kombinasi dari nama Papa-Mama aku. Ternyata, katanya, selama ini dia simpan nomor aku, dan dia baru ngeh waktu dia lagi hapus-hapusin beberapa nomor dari hp-nya. Karena penasaran 'ini Jessica yang mana ya,' (yup, nama Jessica emang super pasaran), akhirnya dia stalk aku di InstagramAskFmTwitter, sampai dia ambil kesimpulan bahwa aku lagi single saat itu, dan dia anggap itu kesempatan emas buat dia. πŸ˜‚

Aaaaanyway, kalian ingat kan waktu di India aku sempat janji ke diri aku sendiri untuk single dulu? Well, aku mungkin agak sedikit mangkir dari janji itu dengan reply dia. Lagian, sekedar chat doang ga masalah, kan ya?

Salah.

Aku pergi sama dia, dong! Parah, lemah abis!!

Ummm oh iya, nama kakaknya juga Elissa, lho!!! Kebetulan. yang. aneh. banget. gak. sih.

Anyway. Huff.

Setelah ketemu dan ngobrol lebih lanjut, ternyata cowok ini sangat, sangat sweet dan yang pasti dia itu cowok PALING gigih yang pernah aku temuin selama ini. Belum lagi dia lumayan, ehm, enak dilihat.

Gawat.

"Terus gimana soal janji single-dan-merasa-puas-dengan-diri-sendiri nya??" Suara hati aku seolah teriak sama aku.
Dan 'suara hati' yang aku maksud adalah ELLE, adikku tercinta. Yep, dari awal Elle sudah sangat mendukung program relationship detox aku ini, dan dia berkali-kali mengingatkan aku untuk fokus demi kebaikan aku sendiri. KZL.

So.
Seminggu setelah pertemuan pertama aku dengan Anton, Elle dan aku pergi ke Singapura untuk syuting Pantene.
Yang bikin aku kaget, ANTON NYUSUL KE SANA JUGA DONG dan karena dia tahu jadwal aku dan Elle cukup padat, dia minta aku ketemu dia KALAU AKU SEMPAT SAJA. Aku kayak, OMG dia ada disini! Dan ya ampun, orangnya pengertian banget *nilai tambah*!!! Tapi karena aku tidak mau terlalu mengabaikan (bikin kesal) suara hati aku (Elle), jadi aku berencana menemui dia di lobi hotel tempat aku menginap saja, mungkin sekedar ngobrol-ngobrol di sana karena sudah lumayan malam setelah syuting selesai, dan besoknya kami sudah harus bangun pagi untuk syuting lagi.

Tapi begitu aku turun ke lobi, dan melihat dia duduk di sofa memakai kemeja putih (iya, iya, cowok tinggi pakai kemeja putih itu salah satu kelemahan aku, diantara berbagai kelemahan lainnya), aku otomatis ngomong, "Um, sori lama nunggu. Yuk kita pergi keluar, aku traktir es krim*." Hashtag tepok jidat.
Jadilah kita jalan keluar hotel, ngobrol tentang banyak hal, dan ada satu saat dimana kita harus menyeberang jalan, dia menaruh tangannya di pinggang belakang aku, dan seketika aku merasa ada sekitar 927 kupu-kupu beterbangan seenaknya dalam perut aku, terima kasih banyak.
*Btw akhirnya aku gagal traktir dia es krim karena ternyata, di dompet aku hanya ada selembar uang 1000 dolar Singapura (belum sempat aku tukar jadi uang receh) dan tentunya bang es krim gak punya kembalian yang cukup buat aku. Aku malu banget tapi Anton cuma ketawa dan akhirnya dia yang bayar es krim-nya. Sampai hari ini dia masih suka ngeledekin aku soal 'insiden es krim'. -_-

Begitu sampai di Jakarta, akhirnya aku kasih tahu dia tentang janji single yang aku buat sendiri, dan itu artinya, benar-benar gak ada tuh istilah 'dibawa santai dulu saja', 'TTM' (teman tapi mesra), atau apapun itu. Aku jelasin kenapa janji itu penting banget buat aku. Dia bilang dia ngerti, tapi tetap sih dia coba-coba hubungin aku, walaupun aku makin jarang reply chat atau angkat telepon dia. Aku juga sempat ngobrol serius sama dia dan benar-benar mengarahkan dia untuk lupain aku dan cari cewek lain saja, tapi dia ketawa dan bilang, "Terserah aku dong mau ngejar siapa, dan aku kan udah bilang aku maunya cuma sama kamu."
Oke, aku tadi udah bilang belum ya, dia itu cowok paling gigih yang pernah-- um, yep udah kok.

Juni 2015, Papa aku meninggal dunia.
Kaget dan sedih, aku sekeluarga memutuskan pergi ke India lagi untuk menenangkan pikiran. Kalau kamu berpikir, "Kenapa India, apa sih yang ada di sana?" Mungkin paling gampang aku jelasinnya dengan mengacu ke film terkenal yang diangkat dari buku yang berjudul sama Eat, Pray, Love, dimana karakter utamanya pergi ke 'ashram' - sejenis tempat retret spiritual yang asri dan sederhana, jauh dari kehidupan moderen dimana pengunjung bisa meditasi, mengikuti beberapa kelas atau membaca ajaran spiritual, makan penuh kesadaran (kebanyakan mereka hanya menyajikan makanan vegetarian / vegan di sana) demi keharmonisan pikiran, tubuh dan jiwa.
Karena Ant (yup, aku akhirnya panggil dia Ant supaya ga bingung sama nama Papa aku) kadang masih kontak sama aku, dia tahu aku bakal pergi ke India dan dia mendadak mau ikut pergi juga. Aku bilang sama dia jangan, soalnya aku udah benar-benar makin serius soal janji single ini. Wong ke acara di rumah duka tempat Papa aku didoain aja aku ga kasih, mana mungkin aku ajak dia ke India bareng keluarga aku? Dan lagipula, ini tuh India, dan ashram itu bukan tempat yang umum untuk turis, jadi tempatnya tidak mudah dijangkau, apalagi bagi yang mau pergi ke sana pertama kali dan seorang diri.

Tapi cowok ini, cowok yang satu ini, dengan keras kepalanya bilang bahwa dia bakal temuin aku di sana.

Dan benar saja, beberapa hari setelah aku sekeluarga sampai di ashram, yang terletak di desa kecil bernama Puttaparthi, dia ada di sana - seorang diri, memakai t-shirt hitam di tengah lautan orang India yang mengenakan setelan putih. Dia melihatku, tersenyum dan berjalan ke arahku. Aku udah ga ngerti lagi. Upaya cowok ini benar-benar melebihi ekspektasi aku dan tindakannya selalu sesuai dengan perkataanya, yang notabene kualitas yang sangat aku kagumi dan jarang aku temui pada kebanyakan cowok yang aku kenal. GAWAT.
Tanpa perlu ditanya, tentunya aku merasa tersanjung dan takjub. Tapi *huff*, yep, dengan baru saja meninggalnya Papa, dan segala sesuatu yang terjadi dalam kurun waktu beberapa bulan itu, aku memutuskan untuk tetap fokus pada resolusi pribadi aku untuk merasa puas hanya dengan diri sendiri dulu saja, karena aku merasa itu hal yang benar untuk dilakukan.

Jadi saat itu juga di India, aku benar-benar merelakan Ant pergi.

Sekitar setahun sudah berlalu sejak saat itu.
Selama satu tahun itu, aku banyak menghabiskan waktu dengan keluarga aku.


Kami sering bepergian, saling membantu dengan pekerjaan masing-masing dan banyak sekali waktu berkualitas yang sangat menyenangkan dan berkesan yang ga akan aku dapat, atau setidaknya akan berbeda kalau saat itu aku sedang punya pacar.

Selain itu, aku juga jadi kebagian banyak banget 'me time' yang menyenangkan, dimana aku berkesempatan untuk menyelaraskan pikiran dengan hati, membaca beberapa buku bagus, membiarkan diri mencari tahu apa yang sebenarnya aku cari dalam hidup - tanpa perlu terburu-buru atau ada tekanan dari manapun. Dan selama masa itu, aku ingat bahwa beberapa hal yang selalu aku impikan adalah meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan mendapat latar belakang yang layak dalam dunia bisnis, oleh karena itu aku mendaftar di sekolah bisnis:

Dan aku benar-benar merasa puas dengan keputusan itu. πŸ€“πŸŽ“πŸ™

Sementara itu (kalau kalian penasaran tentang Ant), setelah India, aku tidak pernah SEKALIPUN membalas chat, comment, telepon, email... Dia mengirim banyak banget email, btw. Tunggu, aku akan screenshot beberapa dan menaruhnya disini hahaha. Kamu bisa klik setiap email untuk memperbesar tulisannya:
↑ Email Juni 2015 ↑
↑ Email Oktober 2015 ↑
↑ Email Desember 2015 ↑
↑ Email Januari 2016 ↑
↑ Email April 2016 ↑

Aku tuh selalu senyum-senyum sendiri baca email dari dia, tapi secara aku udah fix ga bisa ga bakal melakukan apapun soal itu, akhirnya aku cuma forward semua email itu ke... MAMA! Hahahahaha. Aku tahu aku ga bisa bahas email itu sama Elle, soalnya aku udah coba sekali dua kali, tapi ujung-ujungnya dia selalu kuliahin aku agar kembali ke jalan yang benar menjadi biarawati seorang cewek yang kuat dan ga butuh validasi dari cowok untuk merasa puas dan percaya diri.
Bercanda deh. Sejujurnya, walaupun aku sering kesal karena aku merasa adik aku terlalu protektif dan super kaku soal ini, dalam hati aku ngerti kok dia melakukan itu semua semata-mata karena dia ingin yang terbaik buat aku. πŸ‘­πŸ’–

Di sisi lain, Mama aku yang sifatnya memang lumayan nyentrik seolah bertindak sebagai penyeimbang suara hati aku. Dia suka ngomong hal-hal kayak begini:
"Ayolah, kamu mau berapa lama lagi coba, 'menghukum' diri sendiri, dan dia??"
"Tuh lihat, dia naksir kamu banget, tahu!"
"Ya elah Jess, kalau Mama jadi kamu, Mama bakal angkat telepon itu sekarang juga!!! Boleh ga Mama angkat teleponnya?" Ya enggak lah, Ma!! πŸ˜‚

Jadi kira-kira begitulah yang terjadi selama setahun itu. Dan aku, gimanapun juga jadi ada perasaan bahwa setiap bentuk kontak yang dia lakukan itu adalah semacam pengingat yang konstan untuk memastikan aku ngeh bahwa dia selalu ada di sana, menunggu sampai aku siap menjalin hubungan lagi.

Singkat cerita,
Suatu hari, akhirnya aku memberanikan diri untuk chat dia lagi, dan dari sana, semuanya bergulir lancar sampai sekarang.

Klik untuk memperbesar email πŸ‘†
Yah, lumayan lancar lah, secara kalau kalian lihat dari chat dan email di atas, awalnya aku memang masih agak ragu untuk memulai lagi (so sorry, sayang πŸ˜‚), tapi akhirnya kita berhasil sampai tahap sekarang ini kok yeyyy!!! Hehehe.
Foto-foto September 2016, sebulan setelah kita jadian πŸ˜πŸ‘†
Sejujurnya, sekarang kalau aku pikir-pikir lagi setelah menikah sama dia dan sebagainya, kalau bukan karena dia mau nungguin aku waktu itu, kalau waktu itu aku memutuskan untuk langsung jalan sama dia setelah dari India, mungkin aku masih akan ada keraguan tentang diri aku sendiri, dan tentang dia. Bagaimanapun juga, saat itu bukan hanya aku yang baru saja putus - dia sendiri juga baru putus di tahun 2014. Jadi terus terang saja, aku sempat merasa skeptis bahwa dia cuma mau menggunakan aku sebagai rebound alias pelampiasan. Tapi pikiran itu sudah hilang berkat 'waktu menunggu' yang dia lakukan itu. Karena logikanya, kalau memang dia cuma mencari pelampiasan, seharusnya dia sudah coba sama cewek lain saja, bukannya menunggu cewek INI, "tanpa batas waktu pasti" (seperti yang dia katakan di email Juni 2015 itu), kan? πŸ˜› Aku rasa semuanya benar-benar terjadi karena suatu alasan, dan khusus untuk alasan yang satu ini, aku sangat, sangat bersyukur.

Nah, pertanyaan terakhir tentunya yang satu ini, "Tapi APA yang bikin kamu mau nikah sama dia, sis??"
Salah satu teman baik aku, Hanna, juga menanyakan hal yang sama pertama kali dia ketemuan sama aku dan Ant (saat itu, aku sudah terima lamaran dia, jadi status kita saat itu sudah tunangan). Sesaat begitu Hanna sampai di meja kami, hal pertama yang dia lakukan bahkan sebelum duduk adalah menjabat tangan Ant dan tanpa basa-basi dia langsung bertanya, "Luar biasa. Elu ngapain aja sampe Jess mau merit sama lu? Soalnya gw kenal Jess udah lama banget, dan setau gw, dia ga tertarik buat merit."

Itu memang benar sih, dan aku rasa, perasaan skeptis tentang pernikahan itu adalah hal yang lumayan umum di kalangan anak-anak yang orang tuanya bercerai. Jadi, walaupun aku memang diam-diam orangnya romantis, selama ini aku cenderung pesimis. Apalagi setelah beberapa hubungan yang berakhir dengan kegagalan, makin lama aku makin ga berani berharap bahwa suatu hari, akhirnya aku akan bertemu dengan THE ONE.

Oke, balik ke pertanyaan tadi. Hm, pas ditanya begitu, jujur aku bingung harus mulai dari mana, jadi akhirnya aku buka aplikasi Notes di hp aku saja, dimana aku ada satu daftar yang khusus aku isi dengan hal-hal terlucu, tergemas, ter-sweet yang pernah Ant lakukan buat aku (dan keluarga aku) yang fix bikin aku jatuh hati sama dia. Awalnya aku tulis daftar itu supaya pas aku cerita ke Mama, aku ingat keseluruhan cerita beserta detil-detilnya gitu (aku dari kecil selalu cerita apapun sama Mama). Tapi lama-lama itu jadi kebiasaan karena BANYAK BANGET hal-hal yang terjadi dan aku ingin banget bisa ingat semuanya. Dan ini bahkan belum semuanya:

Jadi, itulah beberapa hal yang meyakinkan aku bahwa dia adalah the one buat aku, hehe.
Semua upayanya yang luar biasa itu bahkan sampai membuat Oma aku ngomong sama aku dua kali, "Kalau memang reinkarnasi itu ada dan oma terlahir jadi cewek lagi, oma berharap bakal ada seorang cowok yang melakukan hal yang sama buat oma. Dikejar-kejar keliling dunia, huh asik banget!" πŸ˜‚πŸ˜­πŸ˜‚ Tapi aku tahu bahwa beberapa orang akan menganggap hal-hal yang dia lakukan itu terlalu lebay? Karena setahu aku, beberapa cewek lebih suka cowoknya sedikit misterius, tapi aku sih males banget sama cowok kayak begitu. Aku lebih suka cowok yang all out dan terang-terangan menunjukkan perasaannya, seperti Ant. Dan yup, aku suka banget saat dia kelihatan pengen deket-deket sama aku, I think it's really cute. πŸ™ˆπŸ’•

Oke, FIUH.
AKHIRNYA selesai juga ya, cerita latar belakangnya. Aku harap kalian suka bacanya karena ga disangka-sangka, aku enjoy juga menulis cerita yang super pribadi ini. πŸ˜‚

Terima kasih banyak kalian sudah meluangkan waktu untuk baca cerita aku, dan sampai ketemu lagi di cerita aku berikutnya, ya, semoga secepatnya! Take care πŸ’–

X
Jessica Yamada

August 19, 2018

How I Met My Husband & Why I Chose To Marry Him

[Untuk versi Bahasa Indonesia dari blog ini, klik disini ya]
Let me begin with an apology πŸ˜žπŸ™, because it took me so long to properly introduce Anton - the man I now call husband, to you guys. Ever since I posted this following picture on Instagram, I have received a lot of kind comments and DMs (direct messages) from many of you who congratulated me (thanks again, guys! *hugs*). And some of you, especially those who have followed me since years ago also requested me to share the backstory of how I met this guy, and why I chose to marry him.
But since the proposal, which was on June 2017, time flew super fast and I was hulahooping between finishing my thesis and trying to graduate on time, doing the pre-wedding shoot, finding a place to live and going furniture shopping, preparing and designing a lot of details for the wedding (still trying to blog about it until nowww omg), planning and packing for the honeymoon which was done right after the wedding (ok I left most of the planning part to Anton cause honestly I couldn't handle any more stuffs at the moment T_T), setting some new operational systems for Dapurfit, and of course, juggling all that while doing my job creating contents for my social media channels and get distracted a lot by movies, TV series and bolmik.

So..., where were we? Right, how I met my husband, and why I chose this pokemon. I tried to keep it short, but still it ended up pretty long, so you might wanna grab yourself a cup of coffee or tea before we move on.
Areeeee we ready? Great, here we go!

April 2015. After getting out of a shitty relationship, I decided to go to India.
 ↑ Mom was there for me ↑
She's so sweet and caring, she just wanted me to move on ASAP so she tagged along despite India's SUPER HOT WEATHER (up to 40ΒΊ Celsius in April) 😱♨️πŸ˜­πŸ’•

There in India, amidst the serene unassuming atmosphere, it hit me that I've never been really single since I was like, thirteen? I was 27 years old by that time, so apparently, it took me more than half my life to realize that I was too insecure to feel content just being by myself.
For me, it was better to try and risk being in a bad relationship than to do nothing and be single.

Let me explain to you why, as openly as possible.

First of all: The Need.
I guess it's because I'm a self-centered introvert, I prefer small social circle (never really have a lot of friends to begin with either), and yet I also need to socialize on daily basis; preferably with someone who sincerely adores me, always be there for me and willing to do anything for me. So, a boyfriend definitely fits the criteria better than a bff. Besides, even though I'm a logical person who rarely show my vulnerability (especially in a relationship, because I always feel like it can be used against me), secretly I'm a hopeless romantic. So it would be a real jackpot for me if I finally found 'the one' while moving on from one relationship to another.

Next: The Excitement.
I enjoy the dating game. I know that it can be tiring and intimidating for some people, but I like it. Well, mostly I like the thrill of getting someone I barely know to fall in love with me head over heels, and then maintaining it that way. Being in 'the game' is like doing a side job that I love beside working on my real jobs - it inspires me and keeps me passionate.

Last but not least: The Exit Door.
One thing for sure though, I NEVER stay long in a bad relationship. This is a very important factor, because if you're easily attached and you don't have the heart to break up with someone, someday you could end up waking up to someone who's just... not right your you. So, once I sense that a guy is not right for me (e.g. insincere, momma's boy, potential cheater, rude, or many other unfixable bad habits), I'd never hesitate at all to cut them out of my life because I love myself too much to let me be bullied, and I wouldn't want to waste my time any longer with the wrong person. That is, until that last shitty relationship because even though it was shitty and I tried to break up with him all the time, he ended up being the one who broke up with me - but he was the first guy who broke up with me actually, so it really hurt my pride FML. Although it was a blessing in disguise, really, because if it didn't happen that way, I might not have this wake up call.

So as you can see, my reasoning up there are definitely not the healthiest causes for wanting to be in a relationship, because they're quite childish and selfish, am I right? And I realize that it wouldn't be possible for me to build a good relationship out of a bad foundation. Therefore, during that very moment in India, I decided to change my mindset, and first of all I'd need to try to be truly free and single for... God knows how long. Call it a relationship detox or whatever, but little did I know that along this journey, not only I found myself, I also found the love of my life.

...And it all started from:
Facebook. 2011.
Okay, first things first. As an introvert who rarely hang out with friends, go to exciting events or do anything that would possibly create an encounter with new people (read: prospective dates), I personally think Facebook was a great alternative because it really simplifies the stalking process. I'm not kidding you, it's all there, yo. You wanna check out someone's zodiac, their mutual friends with you, their favorite movies, how many siblings they have, you go to their Facebook and bam, skip all the question marks and move on to the next step -or not.
Of course, that would only work if this eligible crush of yours has thoughtfully (or maybe not, since they probably never even predicted that they'd get stalked unapologetically) fill out all those Facebook questions. But back then, Facebook was the hottest online platform just like Instagram today, so everyone - well, most people used it very eagerly to ‘exist’.

Backtrack to when this guy messaged me on Facebook.

He didn’t say much, just a simple, “Hi. How’s your holiday?”. But what instantly caught my attention was his name, Anton Widjaja, because my dad’s first name was Anton, and my mom’s surname is Wijaya (same pronouncement with 'Widjaja', only slightly different spelling). So naturally, my first reaction was, “What the hell”. Unfortunately for me, he’s one of those people who doesn’t really take care of his online persona, so all I could figure out from his barely used Facebook page was... nothing, really.
Curious and a bit annoyed because I assumed someone must've been trying to troll me, I immediately replied him. It turned out that it is his real name, and no, he didn’t know my parents’ name. We didn’t even have that many mutual friends, only this one guy and neither of us are even close to him. So, was it all a weird coincidence? I guess so. But anyway, that Facebook message didn’t get anywhere. We did exchanged numbers, but that’s it, we didn’t meet, we didn’t chat any further, it just sort of ended there. For a while.

Until...
Fast forward to April 2015, to the beginning of this story, where I just got back from India.

Out of the blue, a WhatsApp message popped up, “Hi, remember me?”. It was him, the guy who has both my parents’ names. Apparently, he kept my number all these years and according to him, he was deleting some of his contacts when he stumbled upon mine. Curious, he stalked me on Instagram, AskFm, Twitter, basically everywhere online before he finally jumped to conclusion that I was not in a relationship at that time, and so he tried his luck.

Aaaaanyway, remember that I told you up there that I promised myself to be single for awhile? Well, I bent that promise just a teeny tiny bit by replying him, because... a little chat wouldn’t hurt, right?

Wrong.

I went out with him! So weak!!

Ummm and yeah, his sister’s name is also Elissa!!! What. are. the. odds.

Anyway. Sigh.

Once we met each other, and a few text messages and phone calls later, this guy turned out to be really sweet and he’s definitely THE MOST persistent guy I’ve ever met. Not to mention that he’s, uhm, pretty cute.

Uh oh.

“But what about that being-single-and-be-content pact??,” my inner voice would yell at me.
And by inner voice, I mean my one and only sister ELLE. Yep, she’s very supportive of this relationship detox idea from the beginning, and she would constantly remind me to stay focused for my own good. FML.

So.
A week after my first meeting with him, Elle and I were in Singapore to film for Pantene.
To my surprise, HE FLEW THERE AS WELL and because he knew our schedule was pretty packed, he asked me to meet him WHENEVER I CAN. I was like, OMG he’s here! And what a considerate gentleman *points up*!!! But since I don’t want to ignore (annoy) my inner voice (Elle) too much, I planned to meet him at the hotel lobby, maybe just for a quick chat because it’s late at night already when we’re done shooting, and we’ve got to wake up early in the next morning.

But when I saw him sitting there waiting for me in a white shirt (yes, yes, tall guy in a white shirt is my weakness, among many others), I was like, “Uhm, sorry to keep you waiting. Let’s go out and I’ll buy you some ice cream*.” hashtag facepalm.
So we walked out of the hotel, talked about many things, and there was this one time where we had to cross the street, he put his hand on my lower back, and I got maybe like, 927 butterflies running wild in my stomach, thank you very much.
*Btw I didn’t manage to buy that ice cream because apparently, I only brought this 1000 SGD bill with me and of course the ice cream guy didn’t have enough change. I was so embarrassed but he just laughed and paid for the ice cream instead, and til today he likes to tease me about the ‘ice cream incident’. -_-

Back in Jakarta, I finally told him about the promise I made myself about being single and that means, not even a ‘casual fling’, ‘TTM’, or whatever it is. I explained how important it is to me. He said he understands, but it didn’t really stop him from hitting my phone anyway, even though I only replied him less and less. When I told him in serious manner that he should just forget about me and go for other girls, he just laughed it off and said, “It’s up to me to go after whoever I want, and I’ve told you that I only want you”.
Okay, did I mention that he's the most persistent guy I've ever-- um, yes I did.

June 2015, my father passed away.
Shocked and heartbroken, my family and I decided to go to India again to get peace of mind. If you’re wondering, “Why India, what’s there?” the best way I can explain to you is by referring to the famous book turned movie Eat, Pray, Love, where the main character went to an ashram - sort of a spiritual retreat to reconnect the mind, body and soul with meditation, mindful eating (mostly they only serve vegetarian / vegan food over there), spiritual teachings, and so on.

Since Ant (yes, I called him Ant to avoid confusion with my dad’s name) and I were still in contact every once in a while, he knew about our upcoming trip to India and he impulsively wanted to go as well. I told him that he shouldn’t because I’m getting real serious about this being-single pact. I didn’t even let him come to my dad’s funeral, so how could I possibly bring him along with my family? And I mean, it’s India, and the ashram is certainly not a touristy place, so it's not that easily accessible, especially for first timers.

But this guy, this particular guy, being as persistent and stubborn as he is, said that he’ll find me there.

And true to his words, a few days after we reached the ashram, which is located in the middle of a remote small town called Puttaparthi, there he was - all alone, wearing a black t-shirt among a sea of Indian devotees in white clothes. He spotted me, smiled and walked towards my way. I was BEYOND shocked. This guy’s effort really exceeded my expectations and his actions always match his words, which is a quality I truly adore and rarely find in most guys I’ve met. UH OH.
Needless to say, I was flattered and impressed. But *sigh*, yep, with my dad’s passing and all that’s happening within a span of those last few months, I decided to stick to my personal resolution of trying to be content just being by myself, because it just felt like the right thing to do.

And so right there and then in India, I completely let Ant go.

About one year has passed since then.
During that period, I spent most of my time with my family.


We travelled a lot, helped each other out and had some really fun and memorable quality time which I wouldn't have, or at least would be quite different if I had a boyfriend by my side.

In addition, I also had a great portion of enjoyable 'me time' where I get to reconnect my mind with my heart, read some good books, letting myself find out what I truly want in life - in my own pace. And within that time, I recalled that one of things I've always wanted is to have a higher education and a proper background in business, so I enrolled in business school:

And I'm really glad I made that decision. πŸ€“πŸŽ“πŸ™

Meanwhile (if you're wondering about Ant), after India, I have never replied to ANY of his messages, comments, phone calls, emails... Boy he did send me lots of emails. Wait, I'll just screenshot some and put them here hahaha. You can click on each email to enlarge it:
↑ June 2015's email ↑
↑ October 2015's email ↑
↑ December 2015's email ↑
↑ January 2016's email ↑
↑ April 2016's email ↑

I would always smile reading his emails, but since I couldn’t wouldn’t do anything about it, I just kept forwarding his emails to... my MOM! Lol. I knew I can’t share it with Elle, because I tried once or twice but she’d lecture me endlessly to get back on my path of being a nun a strong woman who need no validation from men to feel secure and confident.
Just kidding. To be honest, even though I was pretty much pissed off because I felt like my sister was being overprotective and super strict on me, deep down I know she did that simply because she has my best interests at heart. πŸ‘­πŸ’–

My mom, tho, as cheeky as she has always been, would act as a balancing inner voice for me. She’d say something like:
“Oh come on, how much longer do you need to ‘punish’ yourself, and him??”
“Look how much he’s into you!”
“Dammit Jess, if I were you, I would immediately pick up that phone!!! Can I pick up that phone?” Of course not, mum!! πŸ˜‚

So yeah, it went on like that for about a year. And I can’t help to feel that each and every form of contact he made were constant reminders to make sure that I’m aware that he’s always there, waiting for me, until I'm finally ready for a relationship again.

Long story short,
One fine day I finally decided to text him, and from then on out, things just rolled up nice and sweet.

Click to enlarge πŸ‘†
Well, kind of, because as you can see up here, I was still a bit scared to start again at first (so sorry, babe πŸ˜‚), but we managed to work it out anyway yayyy!!!
Photos taken on September 2016, a month after we're officially in a relationship πŸ˜πŸ‘†
Honestly, now that I think about it after being married to him and all, if it weren't for him patiently waiting for me throughout that periodif I decided to just be with him after India, maybe I would still have my doubts about myself, and about him. After all, it wasn't only me who just broke up with someone - he, too, just got out of a relationship in 2014. So naturally, I was skeptical that he'd just wanted to use me as a rebound. But that thought was cleared out thanks to his 'waiting time', because if all he wanted was a rebound, he should've just gone for another girl right away, not waiting for THIS girl, "without definitive time limit" (as he said in that June 2015 email), right? πŸ˜› I guess everything really happened for a reason, then, and for this particular reason, I'm just very, very grateful.

Now, the last remaining question is of course, "But what made you choose to marry him, sister??".
One of my best friends, Hanna, also asked the same question when she first met me and Ant on a dinner (by that time, we were already engaged). When she got to our table, the first thing she did before sitting down was shaking Ant's hand and shot him right away, "Amazing. What exactly did you do that made her want to marry you? Because I've known Jess for so long, and as far as I'm concerned, she just doesn't want to get married."

It's true, though, and I guess it's quite typical for kids whose parents got divorced to be more skeptical about marriage. So, even though I'm secretly a hopeless romantic, I was leaning more to the 'hopeless' side, because after so many failed relationships as well, I never even dared to think I would really, finally met THE ONE.

Okay, going back to THE question. Well, I didn't know how to begin, so I just showed Hanna this list that I made on my phone. It's basically a note that consists the sweetest things he did for me (and my family) that made me fell for him, effective immediately. I initially made it so I remember the whole story, the details etc. when I'm telling my mom about it. But later on, it just became a habit because there are so many of them and I just want to remember them all. And it's not even all of them:

So there you go. Some of the things that convinced me that he's the one.
His extraordinary efforts even made my grandma said to me twice, "If there is a reincarnation and if I'm going to be reborn as a girl again, I wish there would be a guy who would do the same things for me. Chasing me around the world, how nice!" πŸ˜‚πŸ˜­πŸ˜‚ But I know that some people might find things that he did for me a bit too much? Like, I know some girls prefer their guys to be a bit mysterious and not clingy, but for me personally, I hate guys who play games and I love those who wear their heart on their sleeve, just like Ant. And yes, I love it when he's clingy, I think it's really cute. πŸ™ˆπŸ’•

Alright, PHEW.
I guess that FINALLY concludes the complete backstory, huh? Hope you guys enjoy it because I really DO enjoy writing this super personal post, unexpectedly. πŸ˜‚

Thank you so much for reading and I'll see you guys again on my next post, hopefully soon! Take care πŸ’–

X
Jessica Yamada