Not so long ago, I tweeted about this...
Some people responded to my tweet:
The reason I highlighted the comment above is because THAT'S my point exactly. But before we rush to conclusions, please read on (mostly Indonesian language from now on, since this is Indonesian issue anyway haha):
16 Agustus. Saya sedang makan siang sendirian di restoran Sushi Hana, Mal Puri Indah. Tiba-tiba datang dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan. Keduanya memperkenalkan diri dengan sopan, minta izin duduk di hadapan saya, bercerita singkat tentang anak-anak yang terkena sakit leukimia dan bagaimana sebuah yayasan bernama YAI membantu anak-anak malang tersebut.
Di saat yang sama, makanan saya datang dan hp saya berdering. Karena sudah lapar dan telepon itu penting, dan saya sudah tahu niat kedua orang ini adalah untuk keperluan donasi, maka langsung* saja tanpa basa-basi saya tanya berapa** yang harus saya sumbang?
The guy said, "Seratus ribu, kak. Tapi cuma sekali*** lho. Dan itu sudah bisa membantu anak-anak leukimia tadi." Saya keluarkan dompet, ambil uang, dan ternyata cuma ada Rp. 90.000,- (maklum jarang pakai cash), tapi mereka bilang tidak apa-apa, kemudian mereka mengambil uang tersebut, menyobek halaman belakang sebuah buku kecil (which later on became THE book), meminta saya mengisi beberapa data pribadi, baru kemudian mereka berterima kasih dan pergi keluar restoran meninggalkan saya buku tersebut.
Sambil lanjut makan, saya buka-buka buku tersebut, isinya berbagai voucher yang (mungkin menarik bagi orang lain tapi) tidak menarik untuk saya. But well, I thought, it's just a bonus anyway. SAMPAI tiba-tiba saya sadar ada tulisan kecil di bagian bawah cover buku itu bahwa "Rp. 10.000,- dari hasil penjualan Voucher ini akan disumbangkan untuk YAI". BOOM! Totally dumbfounded.
Jadi, saudara-saudara sekalian, saya itu barusan BELI VOUCHER, bukannya nyumbang (ya... adalah 10%. Etapi karena saya tadi cuma ada Rp. 90.000, berarti saya melek-melek beli voucher nya doang dong ya? *pats myself on the back*).
*Here's my silly move. Because I didn't bother to learn more about it, saya jadi tidak tahu bagaimana bentuk donasi itu sesungguhnya (in this case, dari uang sejumlah Rp.100.000 yang diminta, hanya Rp.10.000 yang disumbangkan ke YAI, sedangkan niat saya adalah menyumbangkan Rp.100.000 tersebut sepenuhnya).
**Beberapa yayasan punya standar rata-rata yang dibutuhkan, contohnya Pesat Future Center yang memberitahu saya bahwa dengan Rp.100.000 per bulan, saya sudah bisa mensponsori seorang anak desa.
***Some of these guys come in daily basis to my bf's place in Pantai Indah Kapuk and it's getting on his nerves. Pas ditegur, "Dari kemarin kan saya udah bilang, saya udah pernah nyumbang ke salah satu orang kamu. Kenapa sih balik lagi, balik lagi?" mereka jawab, "Yah.. Siapa tahu kan hari ini mau nyumbang. Lagian kan kakak bisnisnya lancar, masak sih nyumbang seratus ribu aja gak mau?" - so much for good manners, eh?
Malamnya, walaupun sempat tidak habis pikir seharian, saya sudah hampir lupa dengan kejadian tersebut, sampai tiba-tiba ada yang LINE saya jam 23:57, and guess who, twas THAT guy!! My curiosities came back, and here's our heated conversation:
Do note bahwa kemarahan saya ditujukan kepada perusahaan tempat orang ini bekerja, dikarenakan cara mereka bekerja, bukan kepada orang ini semata-mata (if I wanted to attack him personally, I wouldn't bother to blur his name anyway). Kecuali di poin 19-22, where he subjectively judged ZARA in his *not even valid* argument wtf. -_-
Sampai sekarang, saya masih tidak habis pikir dengan pola kerja orang-orang ini. Yang jadi pikiran saya:
1. Kenapa mereka tidak up-front saja bilang, "Kami jual buku voucher, menarik lho, isinya banyak dan value nya bisa sampai dengan sekian. Selain itu, 10% dari hasil penjualan buku voucher ini akan disumbangkan ke yayasan anu." Bukannya malah 'menyamarkan' Penjualan Buku Voucher dengan Kesempatan Beramal (yang notabene hanya 10% nya saja dari jumlah uang yang diminta).
2. Kalau memang mereka itu sukarelawan yang bergerak demi alasan kemanusiaan, dari gerak-gerik saya yang langsung menyerahkan uang sejumlah yang diminta saja harusnya mereka sudah bisa melihat bahwa saya memang niat menyumbang. Dan karena saya sudah jelas-jelas menunjukkan gestur tersebut sebelum / tanpa mereka beritahu tentang keberadaan buku voucher itu, maka sudah sepantasnya (sebagai sukarelawan) mereka sadar bahwa uang tersebut adalah 100% hak YAI. Karena bukankah dari awal yang ditekankan adalah 'Charity'? Buat apa mereka susah-susah jualan voucher lagi kalau memang ada orang yang niat menyumbang 100% untuk YAI?
3. Apabila mereka sudah sadar namun tetap berniat memakai uang tersebut untuk penjualan si buku voucher (bukannya untuk langsung disumbangkan sepenuhnya kepada YAI), ada baiknya mereka menerapkan kewajiban untuk memberi penjelasan terlebih dahulu kepada setiap donatur mengenai aturan mainnya. Apa susahnya sih bilang, "Oh ya kak, tapi ini Rp. 10.000.- nya saja ya yang kita sumbangkan, sisanya itu jadi buku voucher yang kakak pegang sekarang". Unless they lack common sense ATAU mereka memang dapat komisi dari penjualan buku voucher tersebut, yang menjadikan mereka sekumpulan sales, BUKAN sukarelawan.
Karena penasaran, saya googled dan ternyata sudah banyak sekali komplain mengenai hal serupa yang dialami oleh saya, maupun hal lainnya seperti bidang ketenagakerjaan yang *lagi-lagi* penuh kedok / penyamaran yang ditujukan ke pihak GRANTON MARKETING; the creator and distributor of those voucher books. Dan ternyata, kalau memang yang tertulis di link ini http://mitamelati.blogspot.com/2008/07/hati-hati-mencari-kerja-di-pt-granton.html benar adanya, then those people I met weren't volunteers, they're merely sales. Para penjual yang mencari keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan amal.
#SelfNote #LessonLearned
Kalau mau menyumbang, lebih baik ke panti atau yayasan-nya saja langsung, tidak perlu melalui orang lain dan kalau bisa, pastikan dana tersebut memang sampai di tangan orang yang benar sehingga tidak akan disalahgunakan pihak-pihak yang tidak berwenang. Kalau bisa bantu tenaga, waktu atau barang-barang kebutuhan (contoh: susu formula untuk panti asuhan, dsb), mungkin malah lebih bagus lagi.
Some life lessons are supposed to be expensive. Untuk kasus ini, boleh dibilang saya masih cukup beruntung karena 'membeli' pelajaran ini seharga Rp 90.000 saja. Imagine if this involved bigger catch... How much would my own ignorance cost me? *smh*
Must learn to learn the details before making any decisions.
Coming to the end of this post... If any of you guys are curious or even interested to make a donation for YAI, here are their bank account number:
Mandiri 164000582421 / BCA 0845244010
Or you can click here for more information about YAI and other possible ways to donate.
While we're on this topic, here's a complete list of Charity and Non Profit Organizations in Indonesia http://www.charity-charities.org/Indonesia-charities/Indonesia.html
Thought it might come handy in the future. :)
Alright then, hope this post helps. See you guys on my next post. Meanwhile, take care and good luck! :D